Jumat, 18 Januari 2008

Pak Harto.. oh.. Pak Harto..

Jika melihat kondisi Pak Harto sekarang ini orang-orang di pelosok Kampung akan berkata; "kasihan.." Namun berbeda dengan sekelompok mahasiswa yang menuntut dikembalikannya uang negara, mereka akan berkata ,"kacian dech lu.." Ungkap kata yang mirip namun mempunyai makna yang kontroversial.

Pak harto, sosok pahlawan Pembangunan yang sempat menyandang gelar Bapak Pembangunan Nasional, jatuh oleh kesalahan systemnya sendiri. System yang diterapkan oleh Pak Harto tidak mampu menanggulangi krisis ekonomi pada tahun 1997 dan bahkan membuat Indonesia semakin terpuruk.

Padahal system repelita yang paling keren di masa ORBA itu telah berhasil membangun Indonesia selama 32 tahun dengan tatanan yang sedemikian rupa sehingga stabilitas Nasional dapat terjaga. Rakyat kecil (yang sering diperjuangkan mahasiswa sekarang) hidup damai dan tentram walaupun masih ada yang berada di garis kemiskinan. Harga kebutuhan hidup sehari-hari relatif stabil, jarang ada lonjakan harga yang berarti.Mungkin disilah kelemahan system ORBA, tanpa ada Emergency Plan diluar alokasi emergency untuk bencana alam, sehingga system ini akan kalang-kabut saat ada Gejolak moneter Global yang mengarah ke sisi negatif.

Pinjaman Luar Negeri sudah dialokasikan untuk subsidi-subsidi yang menopang sendi kehidupan masyarakat, yang kata pakar ekonomi ; sebenarnya tidak perlu disubsidi. Hal itu bisa memanjakan rakyat, katanya.
Mungkin Pak Harto mempunyai rencana tersendiri seandainya tidak ada krismon dan seandainya Beliau tidak lengser. Satu hal yang tidak dipikirkan Pak Harto, usia beliau sudah lanjut, jika rencana itu hanya bisa direalisasikan oleh Pak Harto, bagaimana jika suatu saat Pak Harto wafat siapa yang akan meneruskan?
Seperti sekarang ini buktinya setelah beliau lengser, tak satupun Presiden yang dapat menjaga stabilitas Nasional seperti jamannya Pak HArto.

Kesimpulannya system yang diterapkan oleh Pak Harto sangatlah brillian, namun tidak bisa diterapkan disegala situasi, dan tidak bisa diaplikasikan oleh sembarang orang. Jika Negara ini diibaratkan mesin,
adalah mesin yang semua tombolnya menggunakan keterangan dengan huruf jawa,
sehingga hanya orang Jawa saja yang
bisa menjadi operator mesin tersebut, bahkan
tidak semua orang Jawa mampu membaca tulisan Jawa.
Seharusnya mahasiswa sekarang belajar dari Pak Harto
dan bukan memaki-maki atau menuntut pengembalian uang negara.
Habis Manis sepah dibuang, mungkin ungkapan ini yang
bisa kita ucapkan untuk para pendemo Pak Harto.
Atau, Menjilat ludah sendiri. Untuk Seorang presiden
sangatlah wajar jika mempunyai kekayaan yang melimpah,
disamping dari gaji, usaha-usaha sampingan lain,
mungkin juga hadiah-hadiah dari teman-teman
kenegaraanya yang berkantong sangat tebal.
Jika Pak Harto disuruh untuk mengembalikan
uang negara itu artinya Beliau harus mengembalikan
seluruh gaji yang ia dapatkan selama 32 tahun,
apakah ini adil untuk seorang yang telah
membesarkan kita dan Indonesia? Pak Harto memang
bukan sosok yang sempurna, pasti ada celah dan kekurangan.
Dimanakah jiwa pemaaf kita? kemanakah sopan santun
orang Indonesia yang sering didengung-dengungkan?
pantaskah seorang yang sakit dimaki-maki dan dituntut?
Bisa jadi prasangka mereka salah, atau semua ini
hanya rekayasa orang-orang yang membenci Pak Harto
karena pernah dikecewakan oleh Pak Harto selama
beliau menjabat. Dengan berkedok memperjuangkan
negara dan mengatasnamakan rakayat kecil.
Padahal faktanya, jika kita pergi ke
pelosok kampung dan bertanya tentang Pak Harto,
mungkin tak akan ada yang menjawab tentang korupsi,
yang akan kita dengar adalah sanjungan dan
ungkapan cinta mereka pada Pak Harto.
Bahkan tidak sedikit yang masih memampang
foto Pak Harto sebagai presiden RI, dan merawatnya.
Tak dielakkan Pak Harto adalah sosok yang
dicintai rakyat kecil sebelum ada isu
korupsi menghembus di masyarakat.
Walau isu itu telah menyebar, namun banyak yang
tak mempercayainya dan masih tetap setia pada Pak Harto.
Yang jadi pertanyaan sekarang, jika rakyat kecil saja
masih cinta dan tidak menuntut macam-macam pada
pak harto, lalu sebenarnya untuk siapa mahasiswa berunjuk rasa?